ZMedia Purwodadi

Menghubungkan Kurikulum Merdeka dan Deep Learning

Table of Contents

Pernah nggak sih kamu ingat pelajaran waktu SD yang paling berkesan? Mungkin cuma satu-dua. Sisanya ya… sekadar lewat begitu aja. Kita sering banget disuruh ngafal, ngisi LKS, dan jawab soal ujian. Tapi sayangnya, jarang banget yang ngajak kita mikir kenapa pelajaran itu penting, atau gimana pelajaran itu nyambung sama hidup kita sehari-hari.

Itulah kenapa dunia pendidikan di Indonesia sekarang lagi bergerak ke arah yang lebih manusiawi dan relevan. Lewat Kurikulum Merdeka, pemerintah ingin mengubah wajah pendidikan dari yang kaku dan seragam, jadi lebih fleksibel dan berpusat pada murid. Tapi satu hal yang nggak boleh dilupain: cara ngajarnya juga harus ikut berubah. Salah satu pendekatan yang bisa bikin pembelajaran lebih dalam dan bermakna adalah Deep Learning.

Mungkin kamu yang baca ini bukan guru, bahkan mungkin udah lama lulus dari SD. Tapi percaya deh, ngerti gimana anak-anak belajar hari ini bisa bikin kita lebih paham ke mana arah bangsa ini dibawa. Karena perubahan besar itu, sering kali dimulai dari hal-hal kecil di ruang kelas SD.

Mengapa Kurikulum Merdeka Saja Tidak Cukup?

Kurikulum Merdeka adalah salah satu upaya negara buat bikin pembelajaran lebih relevan dengan dunia nyata. Guru diberi kebebasan untuk menyesuaikan materi, menekankan pada pembelajaran berbasis proyek, dan memperkuat karakter lewat Profil Pelajar Pancasila. Gaya ngajarnya juga lebih cair, tidak terpaku pada satu buku atau satu cara saja.

Tapi meskipun struktur dan kebijakannya sudah berubah, kalau cara ngajarnya masih sama—murid duduk diam, guru ceramah, dan tugas hanya hafalan—maka hasilnya pun nggak akan jauh beda dari sebelumnya.

Inilah titik pentingnya kita mengenal Deep Learning. Ini bukan istilah teknologi kecerdasan buatan, tapi pendekatan pembelajaran yang ngajak murid untuk berpikir kritis, memahami konsep secara mendalam, dan menghubungkan pelajaran dengan kehidupan mereka sendiri. Dan inilah yang membuat Kurikulum Merdeka dan Deep Learning bisa saling melengkapi.

Bayangkan Kurikulum Merdeka sebagai rumah dengan desain terbuka dan modern. Tapi kalau perabotannya masih jadul, rumah itu nggak akan terasa nyaman. Nah, Deep Learning adalah perabotan, suasana, dan warna yang bikin rumah itu hidup dan hangat. Kombinasi keduanya bisa bikin ruang belajar jadi tempat tumbuh yang menyenangkan dan penuh makna.

Pembelajaran yang Relevan: Dari Sekadar Tahu ke Paham

Di era informasi seperti sekarang, jadi pintar bukan lagi soal siapa yang paling banyak hafal. Semua orang bisa googling. Tapi jadi paham—itu lain cerita. Dan ini penting banget dikenalkan sejak dini, bahkan dari SD.

Misalnya, dalam pelajaran IPA, anak-anak diminta menghafal bagian bunga: kelopak, benang sari, putik. Tapi apakah mereka tahu kenapa bunga punya bagian-bagian itu? Apa fungsinya? Dan apa akibatnya kalau bunga nggak berkembang dengan baik di alam?

Kalau pendekatannya Deep Learning, guru nggak berhenti sampai di hafalan. Anak-anak bisa diajak mengamati bunga di halaman sekolah, diskusi soal peran bunga dalam ekosistem, bahkan bikin proyek tanam bunga yang dirawat bersama-sama. Mereka jadi terlibat langsung, merasa punya pengalaman, dan akhirnya paham. Bukan cuma tahu.

Atau saat belajar matematika tentang ukuran panjang, anak-anak bisa diajak keluar kelas untuk mengukur panjang meja, tinggi tembok, atau jarak antar bangku. Tiba-tiba, satuan sentimeter dan meter bukan lagi angka-angka abstrak di buku, tapi sesuatu yang bisa mereka lihat dan rasakan. Belajar jadi punya konteks, dan dari situ rasa ingin tahu bisa tumbuh alami.

Peran Guru: Bukan Lagi Sumber Segala Jawaban

Kalau dulu guru dianggap sebagai satu-satunya sumber ilmu, sekarang perannya berubah jadi fasilitator. Justru guru yang baik di era sekarang adalah mereka yang bisa membuka ruang tanya, mendorong diskusi, dan membimbing anak untuk menemukan jawabannya sendiri.

Deep Learning ngajak guru untuk lebih sering mengajukan pertanyaan terbuka. Bukan cuma “Apa nama bagian bunga?” tapi “Kenapa bunga penting buat lingkungan sekitar kita?” atau “Apa yang terjadi kalau bunga nggak berkembang?” Pertanyaan kayak gini bikin anak mikir, bukan cuma jawab cepat dan lupa besoknya.

Guru juga perlu menciptakan suasana belajar yang nyaman. Anak harus merasa aman buat salah, aman buat nanya, dan aman buat eksplorasi. Karena tanpa rasa aman, nggak mungkin ada rasa ingin tahu. Dan tanpa rasa ingin tahu, pembelajaran jadi kering.

Di sinilah Kurikulum Merdeka memberikan ruang yang lebih luas. Guru diberi kebebasan memilih metode. Dan Deep Learning bisa jadi pilihan strategis, karena selaras dengan prinsip-prinsip pembelajaran yang berpusat pada siswa, menyenangkan, dan bermakna.

Dari Kelas ke Kehidupan: Membiasakan Refleksi Sejak Dini

Salah satu kekuatan Deep Learning adalah kebiasaan reflektif. Anak-anak nggak cuma diminta menyelesaikan tugas, tapi juga diajak merefleksikan prosesnya: “Apa yang saya pelajari hari ini?”, “Apa yang sulit buat saya?”, “Apa yang bisa saya coba lagi besok?”

Meskipun sederhana, pertanyaan-pertanyaan ini membangun kesadaran belajar yang jarang kita temui di sistem pembelajaran lama. Anak-anak jadi tahu bahwa belajar itu proses. Nggak harus langsung bisa, tapi penting buat tahu apa yang bisa diperbaiki. Kebiasaan ini bukan cuma berguna di sekolah, tapi juga di hidup sehari-hari.

Bayangkan kalau sejak SD anak-anak terbiasa merenung, mengevaluasi diri, dan berani mengambil keputusan berdasarkan pemikiran mereka sendiri. Kita sedang menanam benih generasi yang nggak cuma pintar, tapi juga bijak dan tangguh.

Anak Muda dan Masa Depan Pendidikan

Lalu, buat kamu yang bukan guru atau orang tua, kenapa harus peduli?

Karena kamu adalah bagian dari ekosistem pendidikan juga. Bisa jadi suatu saat kamu punya adik, anak, keponakan, atau bahkan teman yang jadi guru. Kamu juga bisa jadi relawan pendidikan, atau minimal warga yang paham pentingnya arah baru pendidikan ini.

Masa depan bangsa ditentukan oleh kualitas pembelajaran hari ini. Dan pembelajaran yang berkualitas bukan cuma soal fasilitas, tapi tentang cara kita memanusiakan proses belajar. Deep Learning dan Kurikulum Merdeka adalah langkah besar ke sana—asal benar-benar dipahami dan dijalankan, bukan cuma jadi jargon.

Jangan sampai kita cuma reformasi kurikulumnya, tapi nggak menyentuh hatinya. Karena pada akhirnya, pendidikan yang baik adalah pendidikan yang menyentuh hati murid, memantik rasa ingin tahu, dan bikin mereka merasa belajar itu penting untuk hidup mereka, bukan cuma untuk ujian.

Saatnya Belajar Jadi Pengalaman Bermakna

Masa depan memang belum pasti. Tapi satu hal yang jelas: generasi masa depan akan hidup di dunia yang penuh tantangan baru. Untuk itu, mereka butuh bekal yang lebih dari sekadar hafalan.

Dengan Kurikulum Merdeka sebagai kerangka, dan Deep Learning sebagai pendekatannya, pembelajaran bisa jadi lebih hidup dan relevan. Guru bisa jadi sahabat belajar, bukan sekadar pemberi tugas. Anak-anak bisa jadi penjelajah ilmu, bukan cuma penerima informasi.

Dan kita semua, sebagai anak muda hari ini, punya tanggung jawab untuk ikut mendorong perubahan ini. Entah lewat suara, dukungan, atau aksi nyata. Karena masa depan, seperti yang sering dikatakan, dibentuk oleh mereka yang peduli hari ini.

Dan itu… bisa dimulai dari kelas SD.


Terima kasih telah meluangkan waktu untuk membaca halaman ini. Jika kamu merasa informasi di blog ini bermanfaat, jangan ragu untuk menjelajahi artikel lainnya—siapa tahu, ada topik lain yang juga relevan dan menarik untukmu.
Hadi
Hadi Halo, saya Hadi. Terimakasih telah berkunjung ke blog ini. Jangan lupa tinggalkan jejak, agar saya dapat mengunjungimu balik.

Posting Komentar