Deep Learning Tapi Kenapa Kelas Masih Terasa Sama?
Sekarang zaman sudah serba digital. Anak-anak bisa menonton video belajar dari YouTube, mendengar dongeng dari AI, atau bahkan ngobrol dengan robot cerdas seperti ChatGPT. Dunia teknologi bergerak cepat, dan para ilmuwan sudah masuk ke era yang disebut deep learning—cara komputer belajar dengan meniru otak manusia. Tapi anehnya, kalau kita masuk ke ruang kelas SD hari ini, banyak yang masih terasa seperti dulu: duduk di bangku, dengar guru bicara, salin di buku, lalu kerjakan soal.
Di tengah perubahan dunia yang sangat cepat ini, Indonesia sebenarnya sudah mencoba melakukan pembaruan lewat Kurikulum Merdeka. Tujuannya: membuat pembelajaran lebih fleksibel, menyenangkan, dan memberi ruang pada anak untuk belajar sesuai minat dan kecepatan mereka sendiri. Tapi pertanyaannya: apakah perubahan ini benar-benar terasa di sekolah dasar? Atau justru hanya ganti nama tanpa banyak perubahan nyata?
Apa Itu Deep Learning dan Mengapa Penting untuk SD?
Deep learning bukan cuma istilah keren di dunia komputer. Ia adalah cara baru dalam belajar: tidak sekadar hafal, tapi paham, tidak sekadar ikut-ikutan, tapi mengalami sendiri. Di dunia teknologi, ini memungkinkan mesin belajar dari pengalaman. Kalau dipikir-pikir, bukankah begitu juga seharusnya anak-anak SD belajar?
Anak-anak usia SD punya rasa ingin tahu yang besar. Mereka belajar lewat bermain, bertanya, mencoba, lalu mengulang. Mereka tidak belajar dengan cara mendengarkan ceramah panjang—tapi dengan cara aktif, konkret, dan menyentuh langsung pengalaman. Itulah mengapa deep learning, dalam konteks anak SD, harus berarti pembelajaran yang bermakna, relevan, dan penuh makna personal.
Tapi yang terjadi di banyak sekolah dasar hari ini? Sayangnya, masih terlalu banyak anak yang diminta menyalin buku, duduk rapi tanpa banyak bertanya, dan menyelesaikan LKS atau lembar soal yang tidak memberi ruang untuk eksplorasi. Seolah-olah mereka sedang dipersiapkan jadi “mesin hafal” ketimbang manusia yang belajar dengan mendalam.
Kurikulum Merdeka: Niatnya Baik, Tapi Eksekusinya Belum Nyata
Kurikulum Merdeka diperkenalkan dengan semangat besar. Di dalamnya ada profil pelajar Pancasila, ada projek penguatan karakter, dan ada kebebasan guru untuk menyusun modul ajar sesuai kebutuhan murid. Bahkan, penilaian tak lagi bergantung hanya pada angka, tapi juga proses.
Namun di lapangan—khususnya di SD—tantangannya tidak sedikit. Banyak guru yang belum sepenuhnya paham bagaimana mengubah gaya mengajar dari “ceramah dan drill” menjadi “eksplorasi dan refleksi”. Buku panduan memang tersedia, tetapi waktu dan pelatihan belum cukup mendalam. Guru yang sudah bertahun-tahun mengajar dengan metode lama pun butuh waktu untuk adaptasi.
Begitu pula murid. Anak-anak SD yang sejak kelas 1 terbiasa diberi jawaban, kini harus ditantang untuk bertanya, berpikir sendiri, dan belajar bersama. Tapi tanpa pendampingan yang kuat, proses ini bisa membuat mereka bingung, atau bahkan merasa tidak belajar apa-apa.
Akhirnya, meski di atas kertas terlihat baru, di banyak kelas SD, praktik pembelajarannya tetap terasa lama.
Contoh Kasus di Kelas SD
Mari ambil contoh nyata. Di satu SD negeri, guru kelas 4 diminta membuat projek berbasis tema sebagai bagian dari Kurikulum Merdeka. Temanya: lingkungan. Idealnya, anak-anak bisa turun ke lapangan, mengamati sampah di sekitar sekolah, berdiskusi tentang dampaknya, lalu membuat solusi seperti kampanye kebersihan.
Tapi karena keterbatasan waktu dan beban administrasi, proyek itu akhirnya jadi tugas menulis di buku: “Tuliskan 5 cara menjaga lingkungan.” Siswa mengerjakan, guru menilai, selesai.
Apakah anak-anak memahami persoalan lingkungan? Mungkin sebagian. Tapi apakah mereka mengalami deep learning? Tidak. Yang mereka alami adalah “superfisial learning”—belajar di permukaan, tanpa pengalaman yang menyentuh emosi dan refleksi diri.
Ini terjadi bukan karena guru tidak niat, tapi karena sistemnya belum sepenuhnya mendukung perubahan cara berpikir. Belum ada ruang untuk gagal, mencoba, dan belajar dari kesalahan. Semuanya harus cepat, selesai, dan rapi.
Tantangan di Lapangan: SD Perlu Lebih dari Sekadar Kurikulum
Kita tidak bisa mengharapkan guru di SD langsung berubah hanya karena kurikulumnya diganti. Yang dibutuhkan adalah transformasi ekosistem belajar: dari pelatihan guru yang terus menerus, sumber daya yang mendukung pembelajaran aktif, hingga budaya sekolah yang mendorong eksplorasi.
Anak SD seharusnya tidak hanya dinilai dari seberapa cepat mereka bisa membaca atau berhitung, tapi dari bagaimana mereka bekerja sama, mengelola emosi, berani bertanya, dan menghargai proses. Inilah keterampilan abad 21 yang jauh lebih penting daripada sekadar mengisi soal pilihan ganda.
Sayangnya, sistem kita masih terjebak pada obsesi akan angka. Raport harus bagus. Ujian harus tinggi. Bahkan guru dinilai dari seberapa banyak tugas yang diberikan, bukan seberapa bermakna pelajaran yang disampaikan.
Menuju Pembelajaran yang Lebih Dalam dan Bermakna
Jika kita sungguh ingin pendidikan dasar kita sejalan dengan era deep learning, maka kita harus berani berubah. Bukan hanya mengubah nama kurikulum, tetapi juga:
-
Menguatkan peran guru sebagai fasilitator belajar, bukan hanya pemberi informasi.
-
Memberi ruang bagi anak untuk bertanya dan salah, karena dari situlah muncul pemahaman.
-
Mengurangi beban administratif guru, agar waktu mereka bisa fokus untuk menciptakan pengalaman belajar yang mendalam.
-
Melibatkan orang tua, karena pembelajaran yang bermakna tidak bisa berhenti di sekolah saja.
-
Mengutamakan proses, bukan hasil. Anak yang lambat belum tentu bodoh. Anak yang cepat belum tentu paham. Semua anak belajar dengan cara yang unik.
Penutup
Kurikulum Merdeka punya potensi besar. Tapi ia hanya akan berhasil jika semua pihak—guru, kepala sekolah, orang tua, dan murid—benar-benar memahami ruhnya. Bukan hanya mengganti metode, tetapi mengubah cara pandang tentang belajar.
Di era deep learning, sekolah dasar seharusnya jadi tempat di mana anak-anak tidak sekadar diisi pengetahuan, tetapi diajak mengenal dirinya, memahami dunia, dan belajar cara belajar.
Karena pendidikan sejatinya bukan tentang mengisi kepala, tapi tentang menyalakan api keingintahuan. Dan api itu hanya bisa menyala jika kelas menjadi tempat yang hangat, terbuka, dan penuh pengalaman yang bermakna.
Terima kasih telah meluangkan waktu untuk membaca halaman ini. Jika kamu merasa informasi di blog ini bermanfaat, jangan ragu untuk menjelajahi artikel lainnya—siapa tahu, ada topik lain yang juga relevan dan menarik untukmu.
Posting Komentar
Salam!