Memahami Kodrat Keadaan, Fondasi Pendidikan yang Kontekstual dan Relevan
Pendidikan adalah sebuah proses yang tidak bisa dilepaskan dari konteks di mana murid berada dan hidup. Hal ini pula yang menjadi dasar pemikiran Ki Hajar Dewantara saat membicarakan kodrat keadaan—sebuah konsep penting yang harus dipahami oleh setiap pendidik, terutama dalam era yang berubah cepat seperti saat ini.
Kodrat keadaan adalah bagian yang tidak terpisahkan dari dasar pendidikan murid. Ki Hajar Dewantara membaginya menjadi dua aspek: kodrat alam dan kodrat zaman. Kedua hal ini menjadi fondasi penting dalam menyusun proses pembelajaran yang tidak hanya bermakna, tapi juga relevan.
1. Kodrat Alam: Membumi Bersama Lingkungan Murid
Kodrat alam adalah segala hal yang berkaitan dengan kondisi lingkungan fisik tempat murid tinggal. Ini mencakup aspek geografis, sosial, ekonomi, bahkan budaya yang ada di sekitar mereka. Dalam praktik pendidikan, kodrat alam menuntut kita untuk mengenali dan menghargai latar belakang kehidupan murid sebagai titik tolak penyusunan kurikulum dan metode pembelajaran.
Misalnya, seorang guru yang mengajar di daerah perkebunan karet tentu menghadapi murid yang sebagian besar berasal dari keluarga petani karet. Maka, akan sangat relevan jika pembelajaran mengenai kelestarian alam dikaitkan dengan kegiatan merawat pohon karet, seperti menjaga kebersihan kebun, mengenali hama tanaman, atau teknik penyadapan yang ramah lingkungan.
Namun, dalam praktiknya, tidak jarang kita menemukan ketidaksesuaian. Murid yang hidup di daerah pertanian justru belajar lebih banyak tentang ekosistem laut, yang meskipun penting secara umum, terasa jauh dari kehidupan mereka sehari-hari. Informasi seperti ini memang bisa memperluas wawasan, tetapi jika tidak dikontekskan dengan kehidupan murid, justru akan terasa abstrak dan tidak membekas.
Di sinilah peran guru sangat vital. Guru bukan lagi satu-satunya sumber belajar, tetapi menjadi fasilitator yang membantu murid menghubungkan materi dengan realitas kehidupan mereka. Guru yang memahami kodrat alam murid akan cenderung merancang pembelajaran yang kontekstual dan dekat dengan dunia mereka.
2. Kodrat Zaman: Mengikuti Irama Perubahan
Berbeda dengan kodrat alam yang sifatnya tetap dan lokal, kodrat zaman bersifat dinamis dan global. Ia mencerminkan perkembangan teknologi, perubahan nilai-nilai sosial, hingga gaya hidup yang terus bergeser. Pendidikan yang tidak mampu menyesuaikan diri dengan kodrat zaman berisiko menjadi usang dan tidak relevan.
Mari kita ambil contoh sederhana: cara belajar murid zaman dulu dan sekarang jelas berbeda. Dahulu, metode ceramah dianggap paling efektif. Kini, generasi digital cenderung lebih responsif terhadap pembelajaran interaktif, multimedia, dan berbasis proyek. Mereka sudah terbiasa dengan informasi yang melimpah, serba cepat, dan bisa diakses kapan saja melalui internet.
Jika guru tetap mengandalkan metode ceramah semata, menyampaikan informasi yang bahkan bisa dengan mudah ditemukan di mesin pencari, maka pembelajaran akan terasa hambar dan tidak menggugah. Lebih dari itu, murid akan kehilangan semangat untuk belajar.
Untuk itu, guru perlu menjadi pendidik yang adaptif. Tidak hanya menguasai teknologi, tetapi juga memahami cara berpikir generasi masa kini. Di sinilah pentingnya membekali murid dengan kecakapan abad ke-21 seperti berpikir kritis, kreativitas, kemampuan komunikasi, dan kolaborasi. Kecakapan inilah yang memungkinkan mereka bertahan dan berkembang di tengah derasnya arus perubahan zaman.
3. Tantangan Informasi: Antara Globalisasi dan Kearifan Lokal
Kita hidup di era di mana informasi datang dari segala arah, tanpa bisa dibendung. Platform digital membuka akses yang luar biasa luas, termasuk bagi para murid. Dalam kondisi seperti ini, pendidik tidak bisa serta-merta menyaring informasi apa saja yang masuk ke dalam pikiran murid. Tapi kita bisa membekali mereka dengan kecakapan berpikir kritis, agar bisa memilah informasi dengan bijak.
Ki Hajar Dewantara mengingatkan bahwa dalam menghadapi pengaruh luar, pendidik harus cermat dalam memilih dan memfilter mana yang selaras dengan nilai-nilai budaya lokal. Artinya, globalisasi bukan untuk ditolak, tapi perlu disikapi dengan kearifan.
Penanaman budaya lokal yang logis dan bermakna bisa menjadi penyeimbang. Ini bukan semata-mata soal tari tradisional atau makanan khas, tapi juga menyangkut nilai-nilai gotong royong, sopan santun, serta menghargai keberagaman yang menjadi karakter bangsa.
Dengan demikian, murid tidak hanya akan tumbuh menjadi pribadi yang cerdas secara intelektual, tetapi juga bijak secara sosial dan budaya.
4. Prinsip Perubahan: Asas Trikon
Untuk menjaga keseimbangan antara kodrat alam dan kodrat zaman, Ki Hajar Dewantara menawarkan Asas Trikon sebagai prinsip dasar dalam melakukan perubahan kebudayaan:
-
Continuity (Kontinue): Perubahan harus dilandasi oleh kelanjutan dari budaya yang sudah ada, bukan dengan menghapusnya begitu saja. Inovasi terjadi secara evolusioner, bukan revolusioner.
-
Convergence (Konvergen): Pendidikan harus mengarah pada kesatuan, yaitu kesatuan nilai-nilai kemanusiaan dan kebudayaan dunia. Tapi tetap disesuaikan dengan konteks lokal.
-
Concentric (Konsentris): Setiap bangsa memiliki pusat kebudayaannya sendiri yang harus dijaga. Kita boleh menerima pengaruh luar, tapi harus kembali pada jati diri bangsa sebagai pusat orbitnya.
Asas ini penting agar pendidikan di Indonesia tidak hanya mengikuti tren global, tapi tetap berakar kuat pada nilai-nilai lokal. Sehingga, murid kita tidak tercerabut dari identitasnya, dan tetap bisa berdiri sejajar dengan bangsa-bangsa lain di dunia.
Refleksi untuk Pendidik
Bapak/Ibu guru yang luar biasa, mari kita renungkan bersama. Apakah selama ini kita telah merancang pembelajaran yang sesuai dengan kodrat keadaan murid? Sudahkah kita mengenali kodrat alam tempat mereka tumbuh? Apakah pembelajaran yang kita berikan selaras dengan irama dan tantangan zaman yang mereka hadapi?
Mendidik adalah pekerjaan hati dan pikiran. Bukan sekadar menyampaikan materi, tetapi juga mengantarkan murid menjadi manusia yang merdeka dalam berpikir, merasa, dan bertindak. Sesuai dengan pesan Ki Hajar Dewantara, pendidikan sejati adalah pendidikan yang mampu memanusiakan manusia.
Mari terus belajar dan beradaptasi. Karena sejatinya, kita bukan hanya mengajar hari ini, tapi juga sedang menyiapkan generasi masa depan yang akan menghadapi dunia yang terus berubah.